Hari itu hari sabtu Ibu berkata kepadaku, “Nak besok kamu kan tidak kerja, ibu ingin kamu belikan seekor ikan kakap yang besar di tempat pelelangan ikan. Ibu mau menjamu beberapa anak yatim di RT kita. Lagi pula besok genap 11 tahun bapakmu wafat. Ibu baru baca di surat Annisa’ ayat 134, salah satu ciri orang bertaqwa adalah berinfaq di saat lapang dan di saat susah”. Aku terkesima, dan tak mampu menjawab ucapan ibuku itu, manakala isteriku dengan ucapan lugas justru menyetujui ucapan ibu.
Di kamar kami, sambil tersenyum halus, isteriku menyodorkan cincin kawin mahar pernikahanku dulu. “Jual cincin ini bang. Inikan beratnya 7 gram, abang beli lagi lagi cincin yang sama modelnya seberat 5 gram, ibu pasti tidak akan tahu” ujar isteriku. Kembali aku terkesima. Saat itu, aku benar-benar tidak punya uang. “Inikan cincin kawin kita, mahar dariku untukmu, sayang”, ujarku tersendat. “Apalah artinya sedikit pengorbanan kita, dibandingkan dengan upah yang dijanjikan Allah jika kita bakti pada ibu?” jawab isteriku lagi. Kupeluk dia, air mata kami jatuh berderai di pipi.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ku beli ikan kakap seberat 10 kg. Sesampainya di rumah, dengan sigap isteriku membersihkan sisik ikan itu di lantai selasar belakang rumah kami, sementara aku memegang parang besar yang sudah ku asah kemarin sore. Aku yang akan membelah-belah ikan itu, pikirku. Saat isteriku membelah perut ikan dan mengeluarkan isinya, tiba-tiba, sebuah benda jatuh ke lantai. Dia memungut benda itu dan mencucinya di ember di dekat kakinya. Sejurus kemudian mata kami terbelalak. Benda itu sebuah cincin berlian besar. Cahayanya berkilau memantulkan cahaya surya pagi itu.
Ringkas cerita, siang itu anak-anak yatim berkumpul di ruang tengah rumah kami. Mereka tertawa-tawa kecil, setelah menyantap gulai kakap buatan ibu dan isteriku. Kami ini orang Melayu, memang piawai menggulai ikan dan lahap pula memakannya.
Lepas sholat zhuhur, aku bergegas ke pasar batu cincin di kota ku. Ku tawarkan cincin berlian dari perut ikan itu pada toke Liem, pemilik toko berlian paling besar di pasar itu. Dan, hampir-hampir aku tidak percaya dengan ucapan toke Lim yang aku dengar. Limapuluh juta rupiah! Dengan tangan gemetar ku raih telepon genggam, “Sayang, cincin itu harganya 50 juta rupiah!” Aku menjerit memberitahukannya pada isteriku lewat HP tuaku.
Saat aku pulang ke rumah, ibu sedang duduk bersama isteriku di atas tikar di ruang tamu rumah kami. Wajahnya tersenyum puas menyambutku. Aku menangis dan menubruk tubuh ibuku. Ku letakkan wajahku kepangkuannya dengan airmata yang bercucuran. Lidahku terasa kelu dan tak sanggup mengeluarkan sepatah katapun. Dengan bergetar tanganku menyodorkan pelastik keresek, dan mengeluarkan lima ikat uang pecahan seratus ribu rupiah, hasil penjualan cincin dari perut ikan itu.
Ya Allah sungguh hari ini aku meraih ‘ainul yaqin’, bahwa bakti pada ibu akan berbuah manis, bahkan selagi masih hidup di dunia yang fana ini. Robbanaghfirlana, wali walidina, warhamhum kama robbauna shighara, Ya Allah, ampunkanlah dosa kami, dan dosa ibu bapak kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka sayang kepada kami saat kami masih kecil. AAMIIN ya Rabbal alamin.. Subhanallah..
Bahagianya yg masih memiliki ibu...
Selamat pagi...
selamat beraktivitas..
Kunjungi juga blog klik disini
0 Response to "Buah Bakti pada Ibu "
Posting Komentar